TERAPI INDIVIDU
A. KONSELING
Konseling adalah salah satu teknik dalam gugus pendekatan pekerjaan sosial dengan individu (social work with individual) yang dikenal dengan nama metode casework atau terapi perseorangan. Terapi perseorangan melibatkan serangkaian strategi dan teknik pekerjaan sosial yang ditujukan untuk membantu indiidu-individu yang mengalami masalah secara perseorangan atau berdasarkan relasi satu per satu (ono-to-one relation). Beberapa kegiatan yang termasuk dalam terapi perseorangan yang relevan untuk dunia industri antara lain:
1. Memberikan bimbingan sosial kepada orang yang mengalami disfungsi seksual, orang yang menderita penyakit parah (terminal illness), pegawai yang mengalami burnout (kejenuhan) dan stress.
2.Membantu para pegawai yang menghadapi pemutusan hubungan kerja (PHK) dalam memperoleh pelatihan dan pekerjaan baru.
3.Memberikan bimbingan sosial kepada pasangan muda yang baru menikah atau pelatihan parenting skills kepada pasangan yang baru memiliki anak.
4.Merancang program penitipan anak (daycare) bagi pegawai yang tidak memiliki pengasuh anak di rumahnya.
5.Pemberian pelayanan perlindungan terhadap pegawai yang mengalami diskriminasi di tempat kerjanya.
6.Membantu para pecandu alkohol atau narkoba menghilangkan ketergantungannya.
B. KONSELING PROFESIONAL
Setiap pegawai pada suatu ketika pastilah mengalami masalah-masalah pribadi yang tidak dapat dipecahkan oleh dirinya sendiri. Terdapat situasi-situasi tertentu di mana kita memerlukan pertolongan dari seseorang yang memiliki keahlian khusus dan berpijak pada kode etik professional dalam setiap langkah pertolongannya. Pertolongan yang diberikan oleh seorang professional senantiasa memperhatikan situasi ini. Pekerja sosial yang telah memiliki pengetahuan dan pengalaman dalam menerapkan teknik konseling akan menghindari sejauh mungkin bias-bias subjektivitas dan interest pribadi. Metoda dan teknik yang diterapkan didasarkan pada kaidah-kaidah ilmiah dan standar professional yang telah teruji secar empirik.
Konseling pada dasarnya metrupakan suatu keahlian yang diperoleh melalui pendidikan dan pelatihan khusus. Orang professional yang karena pelatihan dan pengalamannya, tentu saja memiliki kemungkinan berhasil yang lebih tinggi ketimbang orang kebanyakan. Tetapi hal yang perlu dicatat adalah bahwa kompetensi dan hubungan baik merupakan dua aspek penting yang menentukan keberhasilan konseling daripada sekedar gelar atau sertifikat.
C. PROSES KONSELING
Zastrow dalam dua bukunya, The Practice of Social Work (1999) dan Introduction to Social Welfare (2000), menjelaskan bahwa proses konseling dapat dilihat dari dua perspektif, yakni:
1.Konseling Berdasarkan Perspektif Pekerja Sosial
Berdasarkan perspektif pekerja sosial, konseling dapat dilakukan melalui tiga tahap, yakni:
• Membangun Relasi
Pekerja sosial dituntut untuk membangun suasana yang kondusif dan menyenangkan, sehingga klien tidak memiliki keraguan atau bahkan ketakutan dalam mengemukakan masalahnya. Pekerja sosial tidak boleh arogan, sombong, atau bersikap moralistik, melainkan harus tenang, tidak tertawa, dan tidak menilai (non-judge-mental) manakala klien mulai membuka percakapan.
• Menggali Masalah Secara Mendalam
Dimensi masalah yang perlu digali pada tahap ini berkisar pada: jenis masalah yang dialami klien, tingkat masalahnya, lama masalah tersebut telah terjadi, penyebabnya, perasaan klien mengenai masalah tersebut, dan kekuatan serta kemampuan fisik dan mental klien dalam menghadapi masalah yang dialaminya.
•Menggali Solusi Alternatif
Tahap berikutnya yang perlu dilakukan pekerja sosial dan klien adalah menggali berbagai kemungkinan yang dapat dijadikan alternatif pemecahan masalah. Prinsip yang perlu diperhatikan dalam tahap ini adalah bahwa klien memiliki hak mementukan nasibnya sendiri (the right to self determination), yakni untuk memilih sendiri beberapa alternatif yang paling sesuai dengan aspirasi dan keadaanya. Karenanya istilah yang tepat adalah konseling dengan klien dan bukan konseling untuk klien. Tugas pekerja sosial adalah membantu klien memahami dan memperjelas konsekuensi-konsekuensi dari masing-masing alternatif yang tersedia, dan umumnya bukan memberi saran atau pilihan secara sepihak kepada klien. Bilamana pekerja sosial secara sepihak menentukan pilihan tindakan bagi klien: alternatif tidak sesuai dengan keinginan dan kemampuan klien sehingga klien menyalahkan pekerja sosial, keadaan ini jelas mengganggu relasi yang telah terjalin. Alternatif yang diambil sesuai dengan aspirasi klien, hal ini tentunya bermanfaat bagi klien.
2. Konseling Berdasrkan Perspektif Klien
Berdasarkan perspektif ini, proses konseling terdiri dari 8 tahapan kegiatan yakni:
•Kesadaran masalah (Problem Awareness)
Klien harus memiliki keyakinan bahwa dirinya memiliki masalah. Pekerja sosial perlu mencari jalan agar klien memiliki kesadaran mengakui bahwa ia memiliki masalah yang perlu dipecahkan.
•Relasi dengan Konselor (Relation to Conselor)
Tahap berikutnya adalah terjalinnya relasi yang baik antara klien dengan pekerja sosial. Pada tahap ini klien perlu memiliki keyakinan bahwa pekerja sosial yang akan membantu dirinya memiliki kemampuan dalam memecahkan masalah yang dialaminya.
•Motivasi (Motivation)
Konselor perlu membantu klien untuk memiliki keyakinan bahwa dia dapat memperbaiki situasi. Karena tanpa motivasi, konseling tidak akan mencapai hasil yang diharapkan.
•Konseptualisasi Masalah (Conceptualizing the Problem)
Agar konseling berjalan efektif, klien harus mengakui dan memahami bahwa, sebenarnya masalah itu memiliki komponen-komponen khusus yang dapat dirubah setahap demi setahap. Pekerja sosial harus dapat membantu klien dalam memilah masalah ke dalam beberapa bagian sehingga mudah untuk menentukan prioritas masalah yang perlu terlebih dahulu dipecahkan. Menurut Max Siporin (1975), cara pemilihan masalah ke dalam beberapa segmen masalah disebut teknik partialisasi (partialization).
•Penggalian Stategi-Strategi Pemecahan Masalah (Exploring Resolution Strategies)
Klien harus yakin bahwa ada beberapa pilihan tindakan yang dapat di lakukannya dalam memecahkan masalah. Pekerja sosial harus dapat membantu klien memperjelas beberapa strategi pemecahan masalah yang mungkin tepat dilaksanakan oleh klien. Setiap klien memiliki latar belakang budaya, pendidikan, pengalaman, dan situasi-situasi problematik yang berbeda. Perbedaan ini tentunya harus dipertimbangkan dalam memilih strategi yang sesuai.
•Pemilihan Strategi (Selection of Strategy)
Klien dan konselor perlu mendiskusikan strategi mana yang paling cocok untuk dilaksanakan. Setelah klien yakin akan strategi yang dipilihnya, klien harus memiliki komitmen yang kuat untuk melaksanakan pilihan tindakan tersebut.
•Implementasi Strategi (Implementation of Strategy)
Konseling akan mencapai hasil yang maksimal apabila klien memiliki komitmen dan meyakini terhadap strategi yang dilaksanakannya.
•Evaluasi (Evaluation)
Apabila pelaksanaan usaha-usaha perubahan telah berjalan secara permanen, klien harus menyimpulkan bahwa, “Meskipun pendekatan ini telah banyak menguras waktu dan tenaga saya, usaha dan pengorbanan saya tidaklah sia-sia”. Jika tidak dapat menyimpulkan dengan baik maka diperlukan alternatif tindakan yang lain perlu dikembangkan dan dilaksanakan.
D.PENDEKATAN KONSELING
Seorang pekerja sosial professional untuk memiliki pengetahuan dan keterampilan dapat diperoleh melalui lembaga pendidikan pekerjaan sosial atau psikologi, pelatihan-pelatihan, maupun melalui serangkaian pengalaman praktek. Terdapat tiga area kemampuan yang perlu dimiliki oleh konselor, yaitu:
1.Kemampuan Membangun Relasi Kerjasama
Konselor harus memiliki kemampuan menunjukkan sikap tidak menilai dan respek terhadap nilai-nilai klien tanpa berusaha untuk memaksakan kehendak dan nilai-nilai yang dianutnya kepada klien.
2.Kemampuan Menggali Masalah Secara Mendalam
Agar menjadi konselor yang kompeten, konselor perlu memiliki: ketrampilan mendengarkan melihat apa yang dikatakan klien dari perspektif klien yang bersangkutan, sikap empati yakin kemampuan untuk menunjukkan bahwa konselor memahami dan menghargai apa yang dipikirkan dan dirasakan klien, pengetahuan mengenai tingkahlaku manusia yakni pengetahuan mengenai bagaimana orang berfikir dan merasa dalam menanggapi setiap peristiwa yang terjadi.
3.Kemampuan Menggali Alternatif Pemecahan Masalah
Pekerja sosial harus memiliki tiga kemampuan diatas, para sosiater ini juga dituntut untuk memahami berbagai pendekatan pentumbuhan dalam konseling. Zastrow dalam bukunya The Practice of social work (1999) menjelaskan beberapa pendekatan konseling tersebut secara lengkap dan terperinci.terdapat pula beberapa pendekatan yang secara khusus ditujukan untuk menangani masalah-masalah khusus tertentu, misalnya sexual therapy untuk mengatasi masalah-masalah seksual,assertive training untuk mengatasi orang yang agresif atau pemalu, parent effectivenss training untuk meningkatkan kemampuan menjadi orangtua, specialized drug counseling approaches bagi pecandu narkoba.
Apa yang harus dilakukan oleh konselor adalah memperdalam pengetahuan ini melalui pendidikan formal lanjutan (S2,S3), pelatihan ditempat kerja (in-service training), pelatihan paruh waktu diluar tempat kerja (sandwich course), mengikuti seminar dan pertemuan ilmiah mengenai pendekatan-pendekatan konseling yang diminati. Yang jelas, pekerja sosial harus terus belajar dan mempraktekkan berbagai pendekatan ini sehingga dia memiliki gaya atau kiat sendiri (bag of tricks) yang disesuaikan dengan keunikan masalah klien
TERAPI KELOMPOK
A. PENGERTIAN
Terapi kelompok adalah salah satu metode pekerjaan sosial yang menggunakan kelompok sebagai media dalam proses pertolongan profesionalnya. Metoda ini sering disebut sebagai group work atau group therapy. Di AS, metode ini telah di terapkan dari setengah abad yang lalu. Pada saat itu para pekerja sosial menyakini bahwa intervensi pekerjaan sosial yang berbasis pada kelompok sangat efektif dan efesian dalam memecahkan masalah individu maupun masalah sosial. Masalah-masalah yang ditangani terapi kelomppok mirip dengan masalah-masalah yang ditangani oleh terapi individu seperti konseling. Yang membedakan dengan terapi individu adalah pendekatannya. Terapi kelompok tidak menggunakan pendekatan yang bersifat perseorangan, melainkan menggunakan kelompok sebagai media penyembuhan. individu-individu yang mengalami masalah sejenis disatukan dalam kelompok penyembuhan dan kemudian dilakukan terapi dengan dibimbing atau didampingi oleh seorang atau satu tim pekerja sosial. Orang-orang yang terlibat dalam kelompok terlibat relasi, interaksi, dan saling mempengaruhi satu sama lain.mereka saling berbagi pengelaman berbagi tujuan, dan berbagi cara mengatasi suatu masalah. Metode ini lebih efisien dilihat dari segi waktu, tenaga, dan dana karena proses pemecahan masalah tidak dilakukan secara satu persatu, melainkan bersama-sama.
Terdapat beberapa definisi formal mengenai terapi kelompok, antara lain :
1. Terapi kelompok adalah metode pekerjaan sosial dengan pengalaman-pengalaman kelompok digunakan oleh pekerja social sebagai medium praktek utama yang bertujuan untuk mempengaruhi keberfungsian, pertumbuhan atau perubahan anggota-anggota kelompok (Margared E. Hartford).
2.Terapi kelompok adalah suatu pelayanan kepada kelompok yang tujuan utamanya untuk membantu anggota-anggota kelompokan memperbaiki penyesuaian sosial mereka, dan tujuan keduanya untuk membantu kelompok mencapai tujuan-tujuan yang disepakati oleh masyarakat (National Association Of Social Work).
3.Terapi kelompok adalah suatu metode khusus yang memberikan kesempatan-kesempatan kepada individu-individu dan kelompok-kelompok untuk tumbuh dalam seting-seting fungsional pekerjaan sosial, rekreasi dan pendidikan (Harleigh B. Trecker).
4.Terapi kelompok memungkinkan berbagai jenis kelompok berfungsi sedemikian rupa, sehingga interaksi kelompok dan kegiatan-kegiatan program memberikan kontribusi pada pertumbuhan individu-individu dalam pencapaian tujuan-tujuan sosial yang di inginkan (American Association Of Group Worker & Grace L. Coyle).
5.Terapi kelompok terutama mengkonsentrasikan diri pada pemberian pengalaman-pengalaman kelompok untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan perkembangan secara normal, membantu mencegah perpecahan sosial, memudahkan tujuan-tujuan korektif dan rehabilitative, serta mendorong keterlibatan dan tanggung jawab penduduk dalam aksi sosial.
B.TUJUAN TERAPI KELOMPOK
Menurut Hartford dan Alissi metoda terapi kelompok digunakan untuk memelihara atau memperbaiki keberfungsian personal dan sosial para anggota kelompok dalam beragam tujuan, yakni tujuan korektif, tujuan prefentif, tujuan pertumbuhan sosial normal, tujuan peningkatan personal, tujuan peningkatan partisipasi dan tangung jawab masyarakat (Suharto 1997).
Menurut Gisela Konofka, tujuan terapi kelompok adalah: individualisasi, mengembangkan rasa memiliki, mengembangkan kememampuan dasar untuk berpartisipasi, meningkatkan kemampuan untuk memberikan kontribusi pada keputusan-keputusan melalui pemikiran rasional dan penjelasan kelompok, meningkatkan respek terhadap keberbedaan orang lain, mengembangkan iklim sosial yang hangat dan penuh penerimaan (Suharto 1997).
C. JENIS-JENIS KELOMPOK
1. Kelompok percakapan sosial
Kelompok ini merupakan tipe yang paling terbuka dan informal. Tidak memiliki rencana kegiatan yang dirumuskan secara jelas dan formal. Tujuan utama para anggotanya adalah untuk mencari kenalan dan tujuan tersebut tidak harus menjadi tujuan kelompok. Dalam penerapan metode PSI, kelompok digunakan sebagai sarana pengujian untuk menentukan seberapa dalam relasi dapat dikembangkan terhadap orang-orang yang tidak mengenal satu sama lain.
2. Kelompok rekreasi.
Tujuan kelompok ini adalah untuk menyelenggarakan kegiatan rekreasi atau latihan olahraga.kelompok ini tidak memiliki pemimpin formal. Dasar pemimpinan dibentuknya kelompok ini adalah suatu keyakinan bahwasanya kegiatan rekreasi dan interaksi yang terjadi dalam kelompok ini dapat membantu membangun karakter yang dapat mencegah perilaku-perilaku maladaptif.
3. Kelompok ketrampilan rekreasi
Tujuan kelompok ini untuk meningkatkan ketrampilan tertentu diantara para anggotanya. Kelompok ini memiliki penasihat, pelatih atau instruktur serta memiliki orientasi tugas yang lebih jelas.
4. Kelompok pendidikan.
Fokus kelompok ini adalah untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilan-keterampilan yang lebih kompleks. Pimpinan kelompok ini biasanya berasal dari seorang professional yang menguasai keahlian tertentu. Beberapa kegiatan kependidikan dari kelompok ini, antara lain: praktek perawatan anak, pelatihan untuk menjadi orang tua yang lebih baik, persiapan untuk menjadi orang tua adopsi atau pelatihan bagi para volunteer agar mampu melaksanakan tugas-tugas tertentu di suatu lembaga pelayanan sosial.
5. Kelompok pemecahan masalah dan pembuatan keputusan.
Bagi klien, tujuan bergabungnya dengan kelompok ini adalah untuk menemukan pendekatan-pendekatan yang dapat digunakan untuk menemukan sumber-sumber baru dalam memenuhi kebutuhan baru. Sedangkan bagi para pemberi pelayanan, kelompok ini dijadikan sarana untuk mengembangkan rencana penyembuhan bagi klien atau sekelompok klien, merumuskan keputusan dalam mengalokasikan sumber-sumber pelayanan yang terbatas, memperbaiki kualitas pelayanan, menyempurnakan kebijakan-kebijakan lembaga, atau memperoleh masukan untuk meningkatkan koordinasi dengan lembaga-lembaga lain.
6. Kelompok mandiri
Kelompok mandiri menekankan pada: pengakuan para anggotanya terhadap kelompok bahwa mereka memiliki masalah, pernyataan para anggotanya kepada kelompok-kelompok mengenai pengalaman-pengalaman masalahnya di masa lalu dan rencana-rencana pemecahan masalah di masa depan, apabila salah seorang anggota kelompok berada pada krisis, anggota kelompok tersebut disarankan untuk menghubungi anggota lain yang kemudian mendampinginya sampai krisis tersebut berkurang.
Kelompok mandiri banyak mengalami keberhasilan dalam memecahkan masalah anggotanya, karena para anggotanya memiliki pemahaman diri mengenai masalahnya yang membantu dia dalam membantu orang lain. Para angota mendapat manfaat berdasarkan prinsip-prinsip terapi, para penolong mendapatkan kepuasan psikologis dengan menolong orang lain. Keuntungan memasuki kelompok mandiri adalah biayanya relatif lebih murah.
7. Kelompok sosialisasi.
Tujuannya adalah untuk mengembangkan atau merubah sikap-sikap dan perilaku para anggota kelompok agar lebih dapat diterima secara sosial. Kelompok sosialisasi biasanya memfokuskan pada pengembangan keterampilan sosial, peningkatan kepercayaan diri, dan perencanaan masa depan.
8. Kelompok penyembuhan.
Kelompok beranggotakan orang-orang yang mengalami masalah personal dan emosional yang berat atau serius. Pemimpin kelompok ini dituntut memiliki pengetahuan dan keterampilan yang handal mengenai tingkah laku manusia dan dinamika kelompok, konseling kelompok, penggunaan kelompok sebagai sarana pengubahan tingkah laku. Tujuan kelompok adalah mengupayakan agar para anggota kelompok mampu menggali masalahnya secara mendalam, dan kemudian mengembangkan satu atau lebih strategi pemecahan masalah.
9. Kelompok sensitivitas.
Dikenal dengan nama kelompok pertemuan (encounter group) atau kelompok pelatihan (training group). Setiap anggota berinteraksi satu sama lain secara mendalam dan saling mengungkapkan masalahnya sendiri secara terbuka. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kesadaran interpersonal yang kemudian dijadikan titik tolak pengubahan sikap dan tingkah laku. Menurut Tubb dan Baird perubahan sikap dan tingkah laku terjadi dalam tiga tahap: pemecahan kebekuan (unfreezing), pengubahan (change), pembekuan kembali (refreezing) sikap dan tingkah laku yang telah melekat agar menjadi bagian dari kepribadian yang diharapkan.
D.TERBENTUKNYA KELOMPOK
Garland, Jones dan Kolodny menurutnya kelompok terbentuk melalui lima tahap:
1.Tahap Pra Affiliasi
Pada tahap awal ini para anggotanya bersikap ambivalent (mendua) terhadap kelompok yang membuat para anggota saling menguji satu sama lain tingkah laku mendekati dan menghindari. Tahap ini berakhir manakala para anggota kelompok mulai merasa nyaman dan aman berada dalam kelompok. Membangun komitmen emosional tentative dengan kelompok, karena kelompok dipandang akan memberi banyak manfaat.
2.Tahap Kekuasaan dan Kontrol
Masing-masing anggota menunjukkan kekuasaannya sebagian untuk melindung dirinya dan sebagian lagi untuk mengendalikan (mengontrol) sesuatu manfaat yang diperolehnya dari kelompok.
3.Keintiman
Terdapat perasaan “kesatuan” dalam kelompok, dan para anggota merasa bebas untuk mengungkapkan usaha-usaha perubahan masalah personal, sikap-sikap dan perhatian-perhatiannya. Perjuangan individu berubah menjadi perjuangan kelompok dimana para anggota mulai berusaha untuk melakukan perubahan-perubahan yang telah disepakati bersama.
4.Perbedaan
Kelompok mampu mengorganisasi diri secara efisien. Kepemimpinan mulai dibagi secara nerata. Keputusan dibuat berdasarkan pertimbangan para angota menghargai perbedaan masing-masing. Relasi berjalan secara seimbang dan masing-masing anggota saling mendukung.
5.Pemisahan
Tahap ini merupakan tahap perakhiran (terminasi) kelompok. Tujuan kelompok telah tercapai dan para anggotanya telah mampu belajar pola-pola tingkahlaku yang baru dan konstruktif. Para anggota seringkali enggan untuk berpisah dengan kelompok. Para pemimpin harus mampu memberikan dukungan emosional serta memberikan informasi menbgenai sumber-sumber dan bantuan pendukung lain kepada mereka yang enggan meninggalkan kelompok sangatlah bermanfaat.
E.PROSES TERAPI KELOMPOK
Tahap-tahap dalam melakukan terapi kelompok yaitu :
1.Tahap intake.
Tahap ini diawali oleh adanya pengakuan mengenai masalah spesifik yang mungkin tepat dipecahkan melalui pendekatan kelompok.
2.Tahap asesmen dan perencanaan intervensi.
Pemimpin kelompok bersama dengan anggota kelompok mengidentifikasi permasalahan, tujuan-tujuan kelompok serta merancang rencana tindakan pemecahan masalah. Dalam kenyataannya, hakikat kelompok senantiasa berjalan secara dinamis sehingga memerlukan penyesuaian tujuan-tujuan dan rencana intervensi.
3.Tahap penyeleksian angota.
Penyeleksian anggota kelompok didasarkan pada pertimbangan bahwa orang tersebut akan mampu memberikan kontribusi terhadap kelompok. Factor-faktor seperti komposisi kelompok perlu dipertimbangkan serta minat dan ketertarikan individu terhadap kelompok.
4.Tahap pengembangan kelompok.
Norma-norma, harapan-harapan, nilai-nilai, dan tujuan-tujuan kelompok akan muncul pada tahap ini, dan akan mempengaruhi serta di pengaruhi oleh aktifitas-aktifitas serta relasi-relasi yang berkembang dalam kelompok.
5.Tahap evaluasi dan terminasi.
Evaluasi dapat kita artikan sebagai pengidentifikasian atau pengukuran terhadap proses dan hasil kegiatan kelompok secara menyeluruh. Sementara itu, pemantuan proses dan keberhasilan kelompok yang dilakukan pada setiap fase dapat diistilahkan dengan monitoring. Berdasarkan hasil evaluasi dan monitoring tersebut, dilakukanlah terminasi. Terminasi dilakukan berdasarkan pertimbangan dan alasan sebagai berikut: tujuan individu maupun kelompok telah tercapai, waktu yang ditetapkan telah berakhir, kelompok gagal mencapai tujuan-tujuannya keberlanjutan kelompok dapat membahayakan satu atau lebih anggota kelompok.
F.PRINSIP-PRINSIP TERAPI KELOMPOK.
1.Pertimbangkan karakteristik kelompok secara tepat dan proporsional.
2.Usahakan agar setiap anggota kelompok mengenal satu sama lain.
3.Identifikasi tujuan personal dan tujuan kelompok.
4.Tumbuhkan fungsi kepemimpinan diantara anggota kelompok.
5.Gunakan prosedur pembuatan keputusan yang paling sesuai dengan jenis dan masalah kelompok.
6.Tumbuhkan suasana kerjasama dari pada kompetitif
7.Tumbuhkan pemahaman bahwa keberbedaan dan konflik merupakan hal yang wajar dan alamiah
8.Usahakan agar anggota kelompok yang menunjukan sikap destruktif dan bermusuhan dapat dikurangi.
9.Ciptakan suasana komunikasi yang terbuka dan jujur.
10.Berikan perhatian yang seksama terhadap sesi pengakhiran.
A. KONSELING
Konseling adalah salah satu teknik dalam gugus pendekatan pekerjaan sosial dengan individu (social work with individual) yang dikenal dengan nama metode casework atau terapi perseorangan. Terapi perseorangan melibatkan serangkaian strategi dan teknik pekerjaan sosial yang ditujukan untuk membantu indiidu-individu yang mengalami masalah secara perseorangan atau berdasarkan relasi satu per satu (ono-to-one relation). Beberapa kegiatan yang termasuk dalam terapi perseorangan yang relevan untuk dunia industri antara lain:
1. Memberikan bimbingan sosial kepada orang yang mengalami disfungsi seksual, orang yang menderita penyakit parah (terminal illness), pegawai yang mengalami burnout (kejenuhan) dan stress.
2.Membantu para pegawai yang menghadapi pemutusan hubungan kerja (PHK) dalam memperoleh pelatihan dan pekerjaan baru.
3.Memberikan bimbingan sosial kepada pasangan muda yang baru menikah atau pelatihan parenting skills kepada pasangan yang baru memiliki anak.
4.Merancang program penitipan anak (daycare) bagi pegawai yang tidak memiliki pengasuh anak di rumahnya.
5.Pemberian pelayanan perlindungan terhadap pegawai yang mengalami diskriminasi di tempat kerjanya.
6.Membantu para pecandu alkohol atau narkoba menghilangkan ketergantungannya.
B. KONSELING PROFESIONAL
Setiap pegawai pada suatu ketika pastilah mengalami masalah-masalah pribadi yang tidak dapat dipecahkan oleh dirinya sendiri. Terdapat situasi-situasi tertentu di mana kita memerlukan pertolongan dari seseorang yang memiliki keahlian khusus dan berpijak pada kode etik professional dalam setiap langkah pertolongannya. Pertolongan yang diberikan oleh seorang professional senantiasa memperhatikan situasi ini. Pekerja sosial yang telah memiliki pengetahuan dan pengalaman dalam menerapkan teknik konseling akan menghindari sejauh mungkin bias-bias subjektivitas dan interest pribadi. Metoda dan teknik yang diterapkan didasarkan pada kaidah-kaidah ilmiah dan standar professional yang telah teruji secar empirik.
Konseling pada dasarnya metrupakan suatu keahlian yang diperoleh melalui pendidikan dan pelatihan khusus. Orang professional yang karena pelatihan dan pengalamannya, tentu saja memiliki kemungkinan berhasil yang lebih tinggi ketimbang orang kebanyakan. Tetapi hal yang perlu dicatat adalah bahwa kompetensi dan hubungan baik merupakan dua aspek penting yang menentukan keberhasilan konseling daripada sekedar gelar atau sertifikat.
C. PROSES KONSELING
Zastrow dalam dua bukunya, The Practice of Social Work (1999) dan Introduction to Social Welfare (2000), menjelaskan bahwa proses konseling dapat dilihat dari dua perspektif, yakni:
1.Konseling Berdasarkan Perspektif Pekerja Sosial
Berdasarkan perspektif pekerja sosial, konseling dapat dilakukan melalui tiga tahap, yakni:
• Membangun Relasi
Pekerja sosial dituntut untuk membangun suasana yang kondusif dan menyenangkan, sehingga klien tidak memiliki keraguan atau bahkan ketakutan dalam mengemukakan masalahnya. Pekerja sosial tidak boleh arogan, sombong, atau bersikap moralistik, melainkan harus tenang, tidak tertawa, dan tidak menilai (non-judge-mental) manakala klien mulai membuka percakapan.
• Menggali Masalah Secara Mendalam
Dimensi masalah yang perlu digali pada tahap ini berkisar pada: jenis masalah yang dialami klien, tingkat masalahnya, lama masalah tersebut telah terjadi, penyebabnya, perasaan klien mengenai masalah tersebut, dan kekuatan serta kemampuan fisik dan mental klien dalam menghadapi masalah yang dialaminya.
•Menggali Solusi Alternatif
Tahap berikutnya yang perlu dilakukan pekerja sosial dan klien adalah menggali berbagai kemungkinan yang dapat dijadikan alternatif pemecahan masalah. Prinsip yang perlu diperhatikan dalam tahap ini adalah bahwa klien memiliki hak mementukan nasibnya sendiri (the right to self determination), yakni untuk memilih sendiri beberapa alternatif yang paling sesuai dengan aspirasi dan keadaanya. Karenanya istilah yang tepat adalah konseling dengan klien dan bukan konseling untuk klien. Tugas pekerja sosial adalah membantu klien memahami dan memperjelas konsekuensi-konsekuensi dari masing-masing alternatif yang tersedia, dan umumnya bukan memberi saran atau pilihan secara sepihak kepada klien. Bilamana pekerja sosial secara sepihak menentukan pilihan tindakan bagi klien: alternatif tidak sesuai dengan keinginan dan kemampuan klien sehingga klien menyalahkan pekerja sosial, keadaan ini jelas mengganggu relasi yang telah terjalin. Alternatif yang diambil sesuai dengan aspirasi klien, hal ini tentunya bermanfaat bagi klien.
2. Konseling Berdasrkan Perspektif Klien
Berdasarkan perspektif ini, proses konseling terdiri dari 8 tahapan kegiatan yakni:
•Kesadaran masalah (Problem Awareness)
Klien harus memiliki keyakinan bahwa dirinya memiliki masalah. Pekerja sosial perlu mencari jalan agar klien memiliki kesadaran mengakui bahwa ia memiliki masalah yang perlu dipecahkan.
•Relasi dengan Konselor (Relation to Conselor)
Tahap berikutnya adalah terjalinnya relasi yang baik antara klien dengan pekerja sosial. Pada tahap ini klien perlu memiliki keyakinan bahwa pekerja sosial yang akan membantu dirinya memiliki kemampuan dalam memecahkan masalah yang dialaminya.
•Motivasi (Motivation)
Konselor perlu membantu klien untuk memiliki keyakinan bahwa dia dapat memperbaiki situasi. Karena tanpa motivasi, konseling tidak akan mencapai hasil yang diharapkan.
•Konseptualisasi Masalah (Conceptualizing the Problem)
Agar konseling berjalan efektif, klien harus mengakui dan memahami bahwa, sebenarnya masalah itu memiliki komponen-komponen khusus yang dapat dirubah setahap demi setahap. Pekerja sosial harus dapat membantu klien dalam memilah masalah ke dalam beberapa bagian sehingga mudah untuk menentukan prioritas masalah yang perlu terlebih dahulu dipecahkan. Menurut Max Siporin (1975), cara pemilihan masalah ke dalam beberapa segmen masalah disebut teknik partialisasi (partialization).
•Penggalian Stategi-Strategi Pemecahan Masalah (Exploring Resolution Strategies)
Klien harus yakin bahwa ada beberapa pilihan tindakan yang dapat di lakukannya dalam memecahkan masalah. Pekerja sosial harus dapat membantu klien memperjelas beberapa strategi pemecahan masalah yang mungkin tepat dilaksanakan oleh klien. Setiap klien memiliki latar belakang budaya, pendidikan, pengalaman, dan situasi-situasi problematik yang berbeda. Perbedaan ini tentunya harus dipertimbangkan dalam memilih strategi yang sesuai.
•Pemilihan Strategi (Selection of Strategy)
Klien dan konselor perlu mendiskusikan strategi mana yang paling cocok untuk dilaksanakan. Setelah klien yakin akan strategi yang dipilihnya, klien harus memiliki komitmen yang kuat untuk melaksanakan pilihan tindakan tersebut.
•Implementasi Strategi (Implementation of Strategy)
Konseling akan mencapai hasil yang maksimal apabila klien memiliki komitmen dan meyakini terhadap strategi yang dilaksanakannya.
•Evaluasi (Evaluation)
Apabila pelaksanaan usaha-usaha perubahan telah berjalan secara permanen, klien harus menyimpulkan bahwa, “Meskipun pendekatan ini telah banyak menguras waktu dan tenaga saya, usaha dan pengorbanan saya tidaklah sia-sia”. Jika tidak dapat menyimpulkan dengan baik maka diperlukan alternatif tindakan yang lain perlu dikembangkan dan dilaksanakan.
D.PENDEKATAN KONSELING
Seorang pekerja sosial professional untuk memiliki pengetahuan dan keterampilan dapat diperoleh melalui lembaga pendidikan pekerjaan sosial atau psikologi, pelatihan-pelatihan, maupun melalui serangkaian pengalaman praktek. Terdapat tiga area kemampuan yang perlu dimiliki oleh konselor, yaitu:
1.Kemampuan Membangun Relasi Kerjasama
Konselor harus memiliki kemampuan menunjukkan sikap tidak menilai dan respek terhadap nilai-nilai klien tanpa berusaha untuk memaksakan kehendak dan nilai-nilai yang dianutnya kepada klien.
2.Kemampuan Menggali Masalah Secara Mendalam
Agar menjadi konselor yang kompeten, konselor perlu memiliki: ketrampilan mendengarkan melihat apa yang dikatakan klien dari perspektif klien yang bersangkutan, sikap empati yakin kemampuan untuk menunjukkan bahwa konselor memahami dan menghargai apa yang dipikirkan dan dirasakan klien, pengetahuan mengenai tingkahlaku manusia yakni pengetahuan mengenai bagaimana orang berfikir dan merasa dalam menanggapi setiap peristiwa yang terjadi.
3.Kemampuan Menggali Alternatif Pemecahan Masalah
Pekerja sosial harus memiliki tiga kemampuan diatas, para sosiater ini juga dituntut untuk memahami berbagai pendekatan pentumbuhan dalam konseling. Zastrow dalam bukunya The Practice of social work (1999) menjelaskan beberapa pendekatan konseling tersebut secara lengkap dan terperinci.terdapat pula beberapa pendekatan yang secara khusus ditujukan untuk menangani masalah-masalah khusus tertentu, misalnya sexual therapy untuk mengatasi masalah-masalah seksual,assertive training untuk mengatasi orang yang agresif atau pemalu, parent effectivenss training untuk meningkatkan kemampuan menjadi orangtua, specialized drug counseling approaches bagi pecandu narkoba.
Apa yang harus dilakukan oleh konselor adalah memperdalam pengetahuan ini melalui pendidikan formal lanjutan (S2,S3), pelatihan ditempat kerja (in-service training), pelatihan paruh waktu diluar tempat kerja (sandwich course), mengikuti seminar dan pertemuan ilmiah mengenai pendekatan-pendekatan konseling yang diminati. Yang jelas, pekerja sosial harus terus belajar dan mempraktekkan berbagai pendekatan ini sehingga dia memiliki gaya atau kiat sendiri (bag of tricks) yang disesuaikan dengan keunikan masalah klien
TERAPI KELOMPOK
A. PENGERTIAN
Terapi kelompok adalah salah satu metode pekerjaan sosial yang menggunakan kelompok sebagai media dalam proses pertolongan profesionalnya. Metoda ini sering disebut sebagai group work atau group therapy. Di AS, metode ini telah di terapkan dari setengah abad yang lalu. Pada saat itu para pekerja sosial menyakini bahwa intervensi pekerjaan sosial yang berbasis pada kelompok sangat efektif dan efesian dalam memecahkan masalah individu maupun masalah sosial. Masalah-masalah yang ditangani terapi kelomppok mirip dengan masalah-masalah yang ditangani oleh terapi individu seperti konseling. Yang membedakan dengan terapi individu adalah pendekatannya. Terapi kelompok tidak menggunakan pendekatan yang bersifat perseorangan, melainkan menggunakan kelompok sebagai media penyembuhan. individu-individu yang mengalami masalah sejenis disatukan dalam kelompok penyembuhan dan kemudian dilakukan terapi dengan dibimbing atau didampingi oleh seorang atau satu tim pekerja sosial. Orang-orang yang terlibat dalam kelompok terlibat relasi, interaksi, dan saling mempengaruhi satu sama lain.mereka saling berbagi pengelaman berbagi tujuan, dan berbagi cara mengatasi suatu masalah. Metode ini lebih efisien dilihat dari segi waktu, tenaga, dan dana karena proses pemecahan masalah tidak dilakukan secara satu persatu, melainkan bersama-sama.
Terdapat beberapa definisi formal mengenai terapi kelompok, antara lain :
1. Terapi kelompok adalah metode pekerjaan sosial dengan pengalaman-pengalaman kelompok digunakan oleh pekerja social sebagai medium praktek utama yang bertujuan untuk mempengaruhi keberfungsian, pertumbuhan atau perubahan anggota-anggota kelompok (Margared E. Hartford).
2.Terapi kelompok adalah suatu pelayanan kepada kelompok yang tujuan utamanya untuk membantu anggota-anggota kelompokan memperbaiki penyesuaian sosial mereka, dan tujuan keduanya untuk membantu kelompok mencapai tujuan-tujuan yang disepakati oleh masyarakat (National Association Of Social Work).
3.Terapi kelompok adalah suatu metode khusus yang memberikan kesempatan-kesempatan kepada individu-individu dan kelompok-kelompok untuk tumbuh dalam seting-seting fungsional pekerjaan sosial, rekreasi dan pendidikan (Harleigh B. Trecker).
4.Terapi kelompok memungkinkan berbagai jenis kelompok berfungsi sedemikian rupa, sehingga interaksi kelompok dan kegiatan-kegiatan program memberikan kontribusi pada pertumbuhan individu-individu dalam pencapaian tujuan-tujuan sosial yang di inginkan (American Association Of Group Worker & Grace L. Coyle).
5.Terapi kelompok terutama mengkonsentrasikan diri pada pemberian pengalaman-pengalaman kelompok untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan perkembangan secara normal, membantu mencegah perpecahan sosial, memudahkan tujuan-tujuan korektif dan rehabilitative, serta mendorong keterlibatan dan tanggung jawab penduduk dalam aksi sosial.
B.TUJUAN TERAPI KELOMPOK
Menurut Hartford dan Alissi metoda terapi kelompok digunakan untuk memelihara atau memperbaiki keberfungsian personal dan sosial para anggota kelompok dalam beragam tujuan, yakni tujuan korektif, tujuan prefentif, tujuan pertumbuhan sosial normal, tujuan peningkatan personal, tujuan peningkatan partisipasi dan tangung jawab masyarakat (Suharto 1997).
Menurut Gisela Konofka, tujuan terapi kelompok adalah: individualisasi, mengembangkan rasa memiliki, mengembangkan kememampuan dasar untuk berpartisipasi, meningkatkan kemampuan untuk memberikan kontribusi pada keputusan-keputusan melalui pemikiran rasional dan penjelasan kelompok, meningkatkan respek terhadap keberbedaan orang lain, mengembangkan iklim sosial yang hangat dan penuh penerimaan (Suharto 1997).
C. JENIS-JENIS KELOMPOK
1. Kelompok percakapan sosial
Kelompok ini merupakan tipe yang paling terbuka dan informal. Tidak memiliki rencana kegiatan yang dirumuskan secara jelas dan formal. Tujuan utama para anggotanya adalah untuk mencari kenalan dan tujuan tersebut tidak harus menjadi tujuan kelompok. Dalam penerapan metode PSI, kelompok digunakan sebagai sarana pengujian untuk menentukan seberapa dalam relasi dapat dikembangkan terhadap orang-orang yang tidak mengenal satu sama lain.
2. Kelompok rekreasi.
Tujuan kelompok ini adalah untuk menyelenggarakan kegiatan rekreasi atau latihan olahraga.kelompok ini tidak memiliki pemimpin formal. Dasar pemimpinan dibentuknya kelompok ini adalah suatu keyakinan bahwasanya kegiatan rekreasi dan interaksi yang terjadi dalam kelompok ini dapat membantu membangun karakter yang dapat mencegah perilaku-perilaku maladaptif.
3. Kelompok ketrampilan rekreasi
Tujuan kelompok ini untuk meningkatkan ketrampilan tertentu diantara para anggotanya. Kelompok ini memiliki penasihat, pelatih atau instruktur serta memiliki orientasi tugas yang lebih jelas.
4. Kelompok pendidikan.
Fokus kelompok ini adalah untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilan-keterampilan yang lebih kompleks. Pimpinan kelompok ini biasanya berasal dari seorang professional yang menguasai keahlian tertentu. Beberapa kegiatan kependidikan dari kelompok ini, antara lain: praktek perawatan anak, pelatihan untuk menjadi orang tua yang lebih baik, persiapan untuk menjadi orang tua adopsi atau pelatihan bagi para volunteer agar mampu melaksanakan tugas-tugas tertentu di suatu lembaga pelayanan sosial.
5. Kelompok pemecahan masalah dan pembuatan keputusan.
Bagi klien, tujuan bergabungnya dengan kelompok ini adalah untuk menemukan pendekatan-pendekatan yang dapat digunakan untuk menemukan sumber-sumber baru dalam memenuhi kebutuhan baru. Sedangkan bagi para pemberi pelayanan, kelompok ini dijadikan sarana untuk mengembangkan rencana penyembuhan bagi klien atau sekelompok klien, merumuskan keputusan dalam mengalokasikan sumber-sumber pelayanan yang terbatas, memperbaiki kualitas pelayanan, menyempurnakan kebijakan-kebijakan lembaga, atau memperoleh masukan untuk meningkatkan koordinasi dengan lembaga-lembaga lain.
6. Kelompok mandiri
Kelompok mandiri menekankan pada: pengakuan para anggotanya terhadap kelompok bahwa mereka memiliki masalah, pernyataan para anggotanya kepada kelompok-kelompok mengenai pengalaman-pengalaman masalahnya di masa lalu dan rencana-rencana pemecahan masalah di masa depan, apabila salah seorang anggota kelompok berada pada krisis, anggota kelompok tersebut disarankan untuk menghubungi anggota lain yang kemudian mendampinginya sampai krisis tersebut berkurang.
Kelompok mandiri banyak mengalami keberhasilan dalam memecahkan masalah anggotanya, karena para anggotanya memiliki pemahaman diri mengenai masalahnya yang membantu dia dalam membantu orang lain. Para angota mendapat manfaat berdasarkan prinsip-prinsip terapi, para penolong mendapatkan kepuasan psikologis dengan menolong orang lain. Keuntungan memasuki kelompok mandiri adalah biayanya relatif lebih murah.
7. Kelompok sosialisasi.
Tujuannya adalah untuk mengembangkan atau merubah sikap-sikap dan perilaku para anggota kelompok agar lebih dapat diterima secara sosial. Kelompok sosialisasi biasanya memfokuskan pada pengembangan keterampilan sosial, peningkatan kepercayaan diri, dan perencanaan masa depan.
8. Kelompok penyembuhan.
Kelompok beranggotakan orang-orang yang mengalami masalah personal dan emosional yang berat atau serius. Pemimpin kelompok ini dituntut memiliki pengetahuan dan keterampilan yang handal mengenai tingkah laku manusia dan dinamika kelompok, konseling kelompok, penggunaan kelompok sebagai sarana pengubahan tingkah laku. Tujuan kelompok adalah mengupayakan agar para anggota kelompok mampu menggali masalahnya secara mendalam, dan kemudian mengembangkan satu atau lebih strategi pemecahan masalah.
9. Kelompok sensitivitas.
Dikenal dengan nama kelompok pertemuan (encounter group) atau kelompok pelatihan (training group). Setiap anggota berinteraksi satu sama lain secara mendalam dan saling mengungkapkan masalahnya sendiri secara terbuka. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kesadaran interpersonal yang kemudian dijadikan titik tolak pengubahan sikap dan tingkah laku. Menurut Tubb dan Baird perubahan sikap dan tingkah laku terjadi dalam tiga tahap: pemecahan kebekuan (unfreezing), pengubahan (change), pembekuan kembali (refreezing) sikap dan tingkah laku yang telah melekat agar menjadi bagian dari kepribadian yang diharapkan.
D.TERBENTUKNYA KELOMPOK
Garland, Jones dan Kolodny menurutnya kelompok terbentuk melalui lima tahap:
1.Tahap Pra Affiliasi
Pada tahap awal ini para anggotanya bersikap ambivalent (mendua) terhadap kelompok yang membuat para anggota saling menguji satu sama lain tingkah laku mendekati dan menghindari. Tahap ini berakhir manakala para anggota kelompok mulai merasa nyaman dan aman berada dalam kelompok. Membangun komitmen emosional tentative dengan kelompok, karena kelompok dipandang akan memberi banyak manfaat.
2.Tahap Kekuasaan dan Kontrol
Masing-masing anggota menunjukkan kekuasaannya sebagian untuk melindung dirinya dan sebagian lagi untuk mengendalikan (mengontrol) sesuatu manfaat yang diperolehnya dari kelompok.
3.Keintiman
Terdapat perasaan “kesatuan” dalam kelompok, dan para anggota merasa bebas untuk mengungkapkan usaha-usaha perubahan masalah personal, sikap-sikap dan perhatian-perhatiannya. Perjuangan individu berubah menjadi perjuangan kelompok dimana para anggota mulai berusaha untuk melakukan perubahan-perubahan yang telah disepakati bersama.
4.Perbedaan
Kelompok mampu mengorganisasi diri secara efisien. Kepemimpinan mulai dibagi secara nerata. Keputusan dibuat berdasarkan pertimbangan para angota menghargai perbedaan masing-masing. Relasi berjalan secara seimbang dan masing-masing anggota saling mendukung.
5.Pemisahan
Tahap ini merupakan tahap perakhiran (terminasi) kelompok. Tujuan kelompok telah tercapai dan para anggotanya telah mampu belajar pola-pola tingkahlaku yang baru dan konstruktif. Para anggota seringkali enggan untuk berpisah dengan kelompok. Para pemimpin harus mampu memberikan dukungan emosional serta memberikan informasi menbgenai sumber-sumber dan bantuan pendukung lain kepada mereka yang enggan meninggalkan kelompok sangatlah bermanfaat.
E.PROSES TERAPI KELOMPOK
Tahap-tahap dalam melakukan terapi kelompok yaitu :
1.Tahap intake.
Tahap ini diawali oleh adanya pengakuan mengenai masalah spesifik yang mungkin tepat dipecahkan melalui pendekatan kelompok.
2.Tahap asesmen dan perencanaan intervensi.
Pemimpin kelompok bersama dengan anggota kelompok mengidentifikasi permasalahan, tujuan-tujuan kelompok serta merancang rencana tindakan pemecahan masalah. Dalam kenyataannya, hakikat kelompok senantiasa berjalan secara dinamis sehingga memerlukan penyesuaian tujuan-tujuan dan rencana intervensi.
3.Tahap penyeleksian angota.
Penyeleksian anggota kelompok didasarkan pada pertimbangan bahwa orang tersebut akan mampu memberikan kontribusi terhadap kelompok. Factor-faktor seperti komposisi kelompok perlu dipertimbangkan serta minat dan ketertarikan individu terhadap kelompok.
4.Tahap pengembangan kelompok.
Norma-norma, harapan-harapan, nilai-nilai, dan tujuan-tujuan kelompok akan muncul pada tahap ini, dan akan mempengaruhi serta di pengaruhi oleh aktifitas-aktifitas serta relasi-relasi yang berkembang dalam kelompok.
5.Tahap evaluasi dan terminasi.
Evaluasi dapat kita artikan sebagai pengidentifikasian atau pengukuran terhadap proses dan hasil kegiatan kelompok secara menyeluruh. Sementara itu, pemantuan proses dan keberhasilan kelompok yang dilakukan pada setiap fase dapat diistilahkan dengan monitoring. Berdasarkan hasil evaluasi dan monitoring tersebut, dilakukanlah terminasi. Terminasi dilakukan berdasarkan pertimbangan dan alasan sebagai berikut: tujuan individu maupun kelompok telah tercapai, waktu yang ditetapkan telah berakhir, kelompok gagal mencapai tujuan-tujuannya keberlanjutan kelompok dapat membahayakan satu atau lebih anggota kelompok.
F.PRINSIP-PRINSIP TERAPI KELOMPOK.
1.Pertimbangkan karakteristik kelompok secara tepat dan proporsional.
2.Usahakan agar setiap anggota kelompok mengenal satu sama lain.
3.Identifikasi tujuan personal dan tujuan kelompok.
4.Tumbuhkan fungsi kepemimpinan diantara anggota kelompok.
5.Gunakan prosedur pembuatan keputusan yang paling sesuai dengan jenis dan masalah kelompok.
6.Tumbuhkan suasana kerjasama dari pada kompetitif
7.Tumbuhkan pemahaman bahwa keberbedaan dan konflik merupakan hal yang wajar dan alamiah
8.Usahakan agar anggota kelompok yang menunjukan sikap destruktif dan bermusuhan dapat dikurangi.
9.Ciptakan suasana komunikasi yang terbuka dan jujur.
10.Berikan perhatian yang seksama terhadap sesi pengakhiran.
Literatur :
Suharto, Edi. (2007). Pekerjaan Sosial di Dunia Industri. Bandung : PT Refika Aditama.
Suharto, Edi. (2007). Pekerjaan Sosial di Dunia Industri. Bandung : PT Refika Aditama.
TUGAS INDIVIDU :
BUATLAH ARTIKEL MENGENAI MASALAH-MASALAH SOSIAL DAN KEMUDIAN BERIKAN SOLUSI MENGENAI MASALAH TERSEBUT
TUGAS DI KUMPULKAN PADA PERTEMUAN YANG AKAN DATANG DENGAN MENGGUNAKAN KERTAS A4, SPASI 1.5, MINIMAL 3 HALAMAN.
No comments:
Post a Comment